AGAR KAMPUS KITA BANYAK MELAHIRKAN ULUL ALBAB

AGAR KAMPUS KITA BANYAK MELAHIRKAN ULUL ALBAB

Artikel ke-1.839

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

 

            Pada 17 Maret 2024 saya mendapat kesempatan untuk menyampaikan ceramah tarowih di Masjid Salman ITB Bandung. Temanya: Memahami Makna Ulul Albab. Tentu saja ini bukan hal baru bagi para cendekiawan atau aktivis keislaman di kampus. Ulul albab biasanya dipahami sebagai orang-orang yang cerdas dan memiliki akal sempurna.

            Adalah menarik jika kita menelaah kembali makna QS Ali Imran 190-191: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, sungguh terdapat tanda-tanda (ayat) bagi ulil albab. Yakni, mereka yang selalu berzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring, dan memikirkan penciptaan langit dan bumi, (sampai ia berkata) Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia.”

            Jadi, secara jelas disebutkan, bahwa Ulul Albab adalah orang-orang yang mampu memahami tanda-tanda (ayat)   berupa penciptaan langit dan bumi dan ayat-ayat Allah lainnya. Di bumi ini ada ayat-ayat Allah dan juga dalam diri manusia.

Karena itu, manusia diperintahkan untuk mengamati dan memikirkan ayat-ayat tersebut. Ujung dari pengamatan dan perenungan ayat-ayat Allah itu adalah terbentuknya kesadaran dalam diri seseorang ulil albab, bahwa semua itu diciptakan Allah dengan tujuan mulia. Tidak ada  yang sia-sia. Selanjutnya, kesadaran semacam itu akan menuntun manusia untuk mengenal Tuhannya dan beradab kepada Allah SWT, yaitu tidak menyekutukan Allah dengan apa pun juga dan siap diatur oleh Allah SWT.

            Sesuai dengan amanah UUD 1945, pasal 31 (3), sepatutnyalah kampus-kampus kita melahirkan banyak ulil albab; melahirkan para sarjana yang tidak sekuler. Yakni, para sarjana yang gagal memahami ayat-ayat Allah, sebagai tanda-tanda adanya Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Para sarjana sekular ini hanya memahami fenomena alam ini sebatas aspek inderawi. Mereka menolak ilmu-ilmu wahyu (revealed knowledge), dan memisahkan sains dengan agama. Mereka memahami sains, sebatas aspek inderawi.

            Padahal, sains sejatinya bukan sekedar fakta ilmiah. Tapi, sains juga melibatkan manusia yang memiliki cara pandang tertentu terhadap fakta. Muslim memandang bahwa alam semesta, termasuk dirinya sendiri, adalah “ayat-ayat Allah”. Ia sadar dirinya adalah hamba Allah dan khalifatullah. Banyak ayat al-Quran memerintahkan agar manusia menggunakan akal, mata, dan telinganya untuk memahami ayat-ayat Allah, sehingga ia mencapai ma’rifatullah; ia dapat mengenal Allah melalui ciptaan-Nya.

Manusia yang gagal mengenal Tuhannya, meskipun rajin mengamati fenomena alam,  maka akan jatuh martabatnya ke derajat binatang ternak; bahkan lebih hina lagi. (QS al-A’raf:179). Jika ia seorang ilmuwan, maka kelasnya setingkat dengan kelas binatang ternak; atau ilmuwan kelas kambing, kelas monyet, kelas kerbau, dan jenis-jenis ternak lainnya.

Mereka adalah para ilmuwan yang gagal menemukan dan mengenal Tuhan. Mereka  akan menjalani kehidupan laksana binatang ternak: hanya mengejar syahwat demi syahwat; tak kenal kebahagiaan sejati dalam ibadah kepada Sang Pencipta.

Lanjut baca,

AGAR KAMPUS KITA BANYAK MELAHIRKAN ULUL ALBAB (adianhusaini.id)

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait