Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Tokoh senior Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Sumatra Barat, H. Mas’oed Abidin, pernah menulis satu buku berjudul “Natsir & Dakwah Islam di Indonesia” (2012). Ada satu bab yang menarik bertajuk “Berpirau di Tengah Badai”. Mohammad Natsir mengibaratkan perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik sebagai pelayanan melintasi samudra.
Saat pelayaran menghadapi badai, Pak Natsir memberikan panduan untuk selamat, yaitu “berpirau”. Bapirau (berpirau) merupakan satu kearifan untuk membawa umat di tengah “tiupan angin” dan tekanan. “Kearifan berpirau ini perlu dipunyai ketika umat sedang berada di tengah intimidasi Islamofobia.”
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam berpirau:
- Angin dan ombak tidak disongsong tepat terpampan. Akan tetapi, arah perahu sekali-kali dikendalikan sedemikian rupa sehingga mudah terbelok melintang, sejajar dengan gulungan ombak. Kalau ada gelombang terlampau besar, arus terlampau deras, angin berputar-putar, lebih baik sauh dibongkar, layar diturunkan, berhenti di tempat sebentar, menunggu badai reda. Tidak ada badai yang tak pernah reda. Lebih banyaklah taqarrub kepada Allah yang menjadikan segala sesuatu, termasuk angin dan arus itu.
- Kemudi tak boleh lepas dari tangan. Mata juru kemudi dan nakhoda tak boleh lepas dari pedoman penentuan arah, mengawasi jurusan angin dan arus, mencermati bintang di langit, untuk menentukan tempat agar jangan keliru mengarahkan kemudi. Awak perahu tidak boleh berhenti mendayung, sauh tidak dipasang, berarti hanyut. Suasana masa bodoh atau panik akan sukar membangkitkan semangat mereka mendayung kembali.
- Nakhoda harus mampu memberi motivasi kepada para pendayung untuk tetap bersemangat dan mendayung dengan baik. Seorang nakhoda, bagaimana pun pintarnya, tidak bisa berlayar sendiri. Kekuatannya terletak pada tenaga anak perahu. Bila perlu, ia turut membantu, turut mendayung, menimba air, memanjat tiang, memasang layar. Mereka harus terus mendayung dan terus mendayung.
- Berlayar bukan sekedar berlayar. Tujuannya harus jelas. Harus jelas pula muatan yang dibawa. Ada pun bendera atau panji-panji, kadang kala besar manfaatnya di tengah Samudra. Kadangkala bendera bisa bermanfaat, kadangkala menimbulkan persoalan. Dalam keadaan semacam itu, ijtihad nakhoda yang menentukan.
- Tidak ada jalan yang selalu mudah untuk mencapai sesuatu tujuan yang bernilai tinggi. Tidak ada pelayaran tanpa resiko. Soalnya bukanlah ada resiko atau tidak. Tapi, persoalannya ialah bagaimana mengambil resiko yang bisa dipertanggungjawabkan, setelah dibandingkan dengan tenaga yang ada, dan dengan nilai yang hendak dicapai. Nakhoda perlu selalu berijthad dan memaksimalkan daya cipta teman seperahu untuk menghadapi keadaan sekelilingnya. Selain terus mengawal kemudi kapal, seorang nakhoda harus menyadari usianya terus menuju ke “laruik sanjo” (larut senja). Maka, ia harus juga menyiapkan penggantinya. Hutang nakhoda ialah membimbing, melapangkan jalan serta melapangkan jalan bagi nakhoda masa depan.
- Panduan ayat dan hadits Nabi saw haruslah terus menjadi pegangan dalam meneruskan pelayaran dan berpirau. Dengan keyakinan kepada petunjuk Allah, tersingkirlah perasaan lemah. Dengan bismillah, layarkanlah terus perahu perjuangan! Karena sesungguhnya ada pertolongan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Lanjut baca,