(Artikel ke-1.271)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada hari Ahad (21/8/22) saya mengisi diskusi tentang sekularisme yang diselenggarakan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Orwilsus Bogor. Hari itu saya sedang di Kota Solo dan Sukoharjo untuk menghadiri undangan Milad ke-50 Pesantren al-Mukmin Ngruki Solo. Sore harinya, saya berkunjung dan berdiskusi dengan para guru di Pesantren Qaryatul Qur’an, Sukoharjo.
Diskusi di ICMI Bogor itu dilakukan melalui media zoom dan dihadiri oleh lebih dari 100 peserta. Ketua Umum ICMI Prof. Arif Satria – yang juga rektor Universitas IPB – memberikan kuliah pembuka (keynote speech). Beliau menekankan pentingnya seorang muslim menjaga iman dan amal dalam kehidupan.
Ketua ICMI Bogor, Dr. Aceng Hidayat, mengantarkan, bahwa diskusi tentang paham sekularisme ini sangat penting untuk membentengi diri dari paham-paham yang keliru yang dapat merusak pemikiran dan aqidah Islam. Diskusi yang dimulai pukul 19.30 itu berlangsung cukup hangat hingga berakhir pukul 22.00 WIB.
Sebagai pembuka, saya mengingatkan kembali para peserta untuk merenungkan makna pidato Mohammad Natsir dalam Sidang Majelis Konstituante, 12 November 1957. Salah satu poin penting dalam pidato Pak Natsir itu adalah bahaya sekularisme terhadap kehidupan adalah penurunan derajat nilai-nilai kehidupan dari taraf ke-Tuhanan ke taraf kemasyarakatan semata-mata.
Begini kata Pak Natsir: “Ada satu pengaruh sekulerisme yang akibatnya paling berbahaya dibandingkan dengan yang saya telah sabut tadi. Sekuleris, sebagaimana kita telah terangkan, menurunkan sumber-sumber nilai hidup manusia dari taraf ke-Tuhanan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata. Ajaran tidak boleh membunuh, kasih sayang sesama manusia, semuanya itu menurut sekulerisme, sumbernya bukan wahyu Ilahi, akan tetapi apa yang dinamakan: Penghidupan masyarakat semata-mata. Umpamanya dahulu kala nenek moyang kita, pada suatu ketika, insaf bahwa jika mereka hidup damai dan tolong menolong tentu akan menguntungkan semua pihak. Maka dari situlah katanya timbul larangan terhadap membunuh dan bermusuhan.”
Paparan Pak Natsir itu sangat penting untuk direnungkan dan masih sangat relevan dengan kondisi kehidupan bangsa kita saat ini. Jika nilai-nilai baik-buruk dipandang sebagai aspek budaya semata – dengan menolak pedoman wahyu Ilahi – maka manusia akan merasa dirinya lebih tinggi dari nilai-nilai itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai itu menjadi relatif. Baik dan buruknya hanya ditentukan pikiran dan konsensus manusia.
Perzinahan, mabok-mabokan, homoseksual, kedurhakaan anak kepada orang tua, suatu ketika bisa dipandang baik, sepanjang manusia itu bersepakat untuk menerima hal itu. Dalam kondisi seperti ini, manusia sudah mengangkat dirinya menjadi Tuhan. Inilah yang dikatakan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, bahwa manusia modern telah mengangkat diri mereka menjadi Tuhan dan Tuhan dimanusiakan (deity humanised man is deified).
Para pendiri bangsa Indonesia jelas menolak corak negara sekular seperti itu, sehingga Indonesia saat ini memang bukan negara sekular. Tokoh Katolik J. Soedjati Djiwandono pernah mengusulkan agar Pembukaan UD 1945 itu diganti. Usulan itu ditulisnya dalam sebuah artikel di Harian Suara Pembaruan (9 Februari 2004), dengan judul ‘Mukadimah UUD 1945 Tidak Sakral, Perlu Diganti’. Ia menulis: ‘Secara logis dan jelas RI seharusnya adalah negara sekuler, dalam pengertian yang paling mendasar, yaitu dipisahkannya politik dari agama, antara "kekuasaan" agama dan kekuasaan politik atau negara.’
Tetapi, masih ada berbagai kalangan yang memandang bahwa Indonesia saat ini adalah negara yang “bukan sekular dan bukan negara agama”. Dengan alasan itu, maka seringkali muncul pandangan, bahwa ajaran Islam tidak bisa diterapkan dalam aspek kemasyarakatan dan kenegaraan.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/diskusi-sekularisme-di-icmi-bogor




