Artikel Terbaru ke-2.003
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Cendekiwan terkenal Dr. Yudi Latif, dalam bukunya, Pendidikan Yang Berkebudayaan, mencatat kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda di awal abad ke-21 untuk mengokohkan cengkemeramannya terhadap Hindia Belanda (Indonesia). Mereka mengubah kebijakan liberal menjadi kebijakan (Politik) Etis di daerah jajahan.
Atas saran Snouck Hurgronje dan JH Abendanon, dalam bidang pendidikan, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan yang lebih bersifat elitis. Tujuannya untuk mentranformasikan kalangan elite pribumi dari kalangan priyayi tradisional menjadi sebuah elite baru yang terdidik secara Barat.
”Dalam pandangan keduanya, memberikan pendidikan Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu yang sangat penting, untuk melatih elite pribumi yang setia dan kooperatif, yang para anggotanya memiliki kesanggupan untuk menangani pekerjaan pemerintahan sipil Belanda. Lebih dari itu, pilihan itu juga bisa memangkas biaya-biaya administratif, menghambat ”fanatisme” Islam, dan pada akhirnya menciptakan contoh yang bisa memberi inspirasi bagi kalangan-kalangan terbawah dari masyarakat Hindia,” tulis Yudi Latif.
Tetapi, pada akhirnya, sesuai kebijakan Gubernur Jenderal J.B. Van Heutsz (1904-1909), dan A.W.F. Idenburg (1909-1916), pemerintah kolonial juga mengembangkan berbagai jenis pendidikan untuk kalangan masyarakat yang lebih luas. Kebijakan ini dilakukan untuk keberhasilan Politik Etis.
Kebijakan pendidikan kolonial ini berpengaruh besar dalam meningkatkan angka partisipasi rakyat Hindia Belanda yang bersekolah di sekolah-sekolah rakyat dan sekolah bergaya Eropa. Tahun 1900, jumlahnya ada 101.003 siswa. Tahun 1910, jumlah itu naik menjadi 310.496. Dan pada tahun 1920, dari 48.428.711 juta penduduk Hindia ketika itu, ada 829.802 siswa.
Lanjut baca,