Artikel Terbaru ke-1.997
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Seorang tokoh pendidikan di Jawa Timur pernah berucap: “Orang jadi petinju saja perlu pelatih yang hebat, bagaimana mau melahirkan ulama yang hebat kalau tidak ada pelatihnya?” Dalam bahasa Jawa, sang tokoh menyatakan: “Wong dadi petinju mung gepuk-gepukan wae butuh pelatih!”
Kata-kata praktisi pendidikan senior itu sangat bermakna dalam perspektif pendidikan. Saat ini – alhamdulillah – banyak lembaga dan organisasi Islam memiliki Program Kaderisasi Ulama. Masing-masing lembaga menyusun kurikulum seideal mungkin agar bisa mencapai tujuan yang diharapkan.
Kita semua maklum dan yakin, bahwa setelah Rasulullah saw wafat, maka tidak ada lagi nabi sesudah beliau. Kalau ada yang mengaku-aku Nabi, pasti pendusta. Apakah ia mengaku mendapat wahyu di India atau di Gunung Merapi.
Secara tegas, Rasulullah saw sudah menyatakan:”Sesungguhnya akan ada pada umatku tiga puluh orang pendusta. Masing-masing mengaku sebagai nabi. Padahal, akulah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi sesudahku.” (HR Abu Dawud).
Rasulullah saw juga menjelaskan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi. Para ulama itulah yang mendapatkan amanah untuk memandu dan membimbing umat agar tidak tersesat. Para ulama juga yang diberikan amanah untuk melanjutkan kepemimpinan umat dalam berbagai bidang kehidupan.
Karena melanjutkan perjuangan untuk mewujudkan misi kenabian adalah wajib hukumnya, maka melahirkan para ulama juga menjadi wajib pula hukumnya. Bahkan, ini merupakan salah satu prioritas penting perjuangan umat Islam Indonesia.
Para ulama itu tidak dilahirkan. Artinya tidak ada anak yang lahir secara otomatis akan menjadi ulama tanpa melalui proses pendidikan. Betapa pun hebatnya keulamaan ayah-ibunya, tetap saja anak-anaknya tidak akan otomatis menjadi ulama. Karena itu, jika ada anak-anak ulama hebat yang tidak menjadi ulama-ulama pelanjut perjuangan para nabi, maka hal itu adalah karena faktor pendidikannya.
Yang wajib dilahirkan oleh umat Islam adalah ulama-ulama warastatul anbiya’. Yakni, ulama-ulama yang memiliki kualifikasi seperti para nabi, sehingga dapat menjadi pelanjut perjuangan para nabi. Mereka tentu wajib memiliki ulumuddin yang mumpuni, cerdas, jujur, amanah, muballigh, dan bijak dalam menyampaikan dakwah (bil-hikmah).
Ulama seperti ini bukan sekedar pengajar atau mu’allim, tetapi lebih sebagai pendidik masyarakat atau guru umat. Hati mereka bersama umat, dan senantiasa berpikir dan berjuang bagaimana memperbaiki kondisi umatnya. Itulah yang senantiasa dilakukan oeh para nabi.
Lanjut baca,