Artikel Terbaru ke-2.123
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Hadirnya Kabinet Merah Putih pemerintahan Presiden Prabowo Subianto disambut dengan rasa optimis dan penuh harap. Khususnya, dalam bidang pendidikan. Presiden Prabowo mengangkat Prof. Dr. Abdul Mu’ti sebagai Mendikdasmen dan Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro sebagai Mendikti Ristek. Ini memunculkan harapan baru terhadap masa depan pendidikan Indonesia.
Kita berharap ada perubahan yang besar dan mendasar dalam dunia pendidikan kita. Cita-cita dan semangat Presiden Prabowo sangat hebat. Ingin membangun Indonesia yang kuat dan disegani di dunia. Ingin Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur. Dan itu memerlukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Berulang kali Sang Presiden mengucapkan itu dengan sangat berapi-api.
Indonesia ini sangat besar dan sangat rumit serta komplek masalah yang dihadapi. Masalah yang dihadapi ini – termasuk dalam bidang pendidikan -- sangat luar biasa. Karena itu, solusinya pun harus luar biasa pula. Tidak bisa hanya biasa-biasa saja!
Terobosan-terobosan yang dilakukan Menteri Abdul Mu’ti dalam 100 hari umur Kabinet Marah Putih sangat bagus. Ditetapkannya Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia dan metode Deep Learning (Pembalajaran Mendalam) adalah hal yang sangat baik. Tetapi, itu masih belum cukup untuk menyelesaikan problema mendasar pendidikan Indonesia.
Masalah mendasar pendidikan di Indonesia adalah sekularisme dan materialisme. Sekian puluh tahun kita mengadopsi sistem pendidikan warisan penjajah yang oleh Ki Hajar Dewantara disebutkan akan menimbulkan “dua kemurkaan”, yaitu kemurkaan diri (individualisme) dan kemurkaan benda (materialisme).
Mohammad Natsir menyebut prolem terbesar bangsa kita saat ini adalah penyakit cinta dunia yang berlebihan. Penyakit ini semakin menguat pada era Orde Baru. Akibatnya, timbul penyakit indivualisme dan malas berbuat untuk masyarakat.
Pada 17 Agustus 1951, Pak Natsir menulis artikel berjudul: “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan: “Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”
Dalam Pidato Kebudayaannya tahun 1977, budayawan Mochtar Lubis menyebut ciri-ciri utama manusia Indonesia adalah munafik, enggan bertanggung jawab, berkarakter kurang kuat, suka hidup mewah tanpa susah payah, suka menempuh jalan pintas untuk meraih jabatan, bahkan suka berburu gelar untuk kenaikan pangkat.
Inilah problem utama manusia Indonesia. Problem kualitas manusia Indonesia itu sangat serius dan harus diselesaikan secara mendasar dan menyeluruh. Jika problem itu tidak diselesaikan, kita khawatir, Presiden Prabowo kecapekan dan kehabisan energi, karena cita-cita dan program-programnya tidak mendapat dukungan kuat dari aparatnya sendiri.
Lanjut baca,