BERSYUKURLAH, KITA PUNYA KITAB SUCI YANG SATU

BERSYUKURLAH, KITA PUNYA KITAB SUCI YANG SATU

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

    Selama beberapa hari ini, saya diperlihatkan sejumlah video yang menunjukkan perbedaan pendapat diantara sejumlah Ustadz popular tentang beberapa masalah ibadah dalam Islam. Misalnya, tentang qunut subuh, melafalkan niat dalam shalat, jumlah rakaat shalat tarawih, dan sebagainya. 
    Alhamdulillah, ada wawasan tambahan saat menyimak sejumlah video tersebut. Tapi, sayangnya, ada juga bumbu-bumbu berupa kata-kata yang kurang sepatutnya disampaikan secara terbuka. Sebab, sesama muslim, harus mengedepankan taushiyah, bukan celaan atau hinaan. 
Apalagi, umat Islam Indonesia sedang menghadapi tantangan dan ancaman serius dalam berbagai bentuk. Sepatutnya, para ustadz menghindarkan diri dari perpecahan (tafarruq), apalagi dalam soal-soal furu'iyyah. 
    Patut dicatat, bahwa dalam menyikapi perbedaan, ketegangan, bahkan konflik pemikiran, di lingkungan para ustadz atau aktivis dakwah, lebih baik kita menggunakan pendekatan yang positif.  Sebab, semua pihak itu masih punya kata sepakat tentang otentisitas dan validitas al-Quran. Kita juga punya ibadah yang satu, kiblat yang satu, dan juga nama Tuhan yang tidak diperselisihkan. 
Itu perlu kita syukuri. Sebab, agama-agama lain masih terus berselisih soal kitab suci mereka. Majalah Hindu, RADITYA, edisi Maret 2007, memuat laporan utama berjudul "Hindu versus Hindu Bali". Isinya tentang munculnya, agama Hindu Bali, yang menginduk ke PDHB, bukan PHDI. Hindu Bali hanya mengakui kitab suci mereka adalah Wedha yang tertulis di lontar. 
    Kaum Kristen di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini, masih menghadapi tantangan munculnya Alkitab (Bibel) versi-versi lain selain dari yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).     Tahun 1992, penerbit Kanisius Yogyakarta, menerbitkan buku karya Stefen Leks yang berjudul, Inspirasi dan Kanon Kitab Suci.  
Di sini dibahas tentang masalah "ketidaksalahan" Bibel. Dia menulis, bahwa berabad-abad lamanya Gereja Katolik menggunakan jargon "sine ullo errore" (tanpa kekeliruan apa pun). Selama berabad-abad Gereja lebih sering berbicara tentang Kitab Suci yang tidak keliru, daripada tentang kebenarannya. Setelah keluarnya Konstitusi ‘Dei Verbum' dalam Konsili Vatikan II, Gereja mulai lebih mementingkan kebenaran Kitab Suci, daripada ketidaksesatannya. Selanjutnya ditulis:
"Buku ini tidak dipandang lagi sebagai kumpulan kebenaran semata-mata melainkan lebih-lebih sebagai karya ajaib yang penuh dinamika. Kitab Suci bukan pertama-tama buku pengajaran belaka melainkan lebih-lebih buku kebenaran yang menyelamatkan. Kebenaran dalam arti demikian melekat pada teks-teks asli Kitab Suci saja (yang tentu saja tidak ada lagi!), sedangkan segala terjemahannya turut serta dalam nilai utama Kitab Suci itu sejauh dengan setia mengungkapkan apa yang diinspirasikan Allah dan diungkapkan dalam teksnya. Ketidakkeliruan melekat pada keseluruhan Kitab Suci, bukan pada penulis kitab tertentu  ataupun pada kitab tertentu saja. Ketidakkeliruan dalam arti mutlak hanya melekat pada kebenaran penuh yaitu Yesus Kristus." (hal. 94-95).

Lanjut baca

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/bersyukurlah,-kita-punya-kitab-suci-yang-satu

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait

Tinggalkan Komentar