Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Presiden Soekarno, saat memperingati Hari Lahir Piagam Jakarta (Jakarta Charter), 22 Juni 1965, menyampaikan pidato penting tentang Piagam Jakarta. Berikut ini kutipan pidato Bung Karno:
“Nah, Jakarta Charter ini saudara-saudara, sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Jakarta Charter ini saudara-saudara, ditandatangani 22 Juni 1945. Waktu itu jaman Jepang. Bukan 1945 tapi 2605. Ditandatangani oleh – saya bacakan ya – Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mr. Muhammad Yamin, 9 orang. Diantaranya ada yang sudah berpulang ke rahmatullah, yaitu Haji Agus Salim, Wahid Hasyim, Muhammad Yamin. Kita sekalian mendoakan agar arwah saudara-saudara itu diberi tempat sebaik-baiknya oleh Allah SWT.
Perhatikan, di antaranya penandatangan daripada Jakarta Charter ini, ada satu yang beragama Kristen saudara-saudara, yaitu Mr. A.A. Maramis. Itu menunjukkan bahwa sebagai tadi dikatakan Pak Roeslan Abdulgani, Jakarta Charter itu adalah untuk mempersatukan Rakyat Indonesia yang terutama sekali dari Sabang sampai Merauke, ya yang beragama Islam, yang beragama Kristen, yang beragama Budha, pendek kata seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipersatukan!”
Pidato Bung Kano itu ditulis oleh Tokoh NU KH Saifuddin Zuhri, dalam makalahnya berjudul “Menghilangkan Prasangka terhadap Piagam Jakarta”. (Dimuat dalam bukunya, Kaleidoskop Politik di Indonesia Jilid 3, (Jakarta: Gunung Agung, 1982).
Makalah tersebut ditulis pada 9 Maret 1981. Saat itu, Piagam Jakarta masih menjadi “barang haram” untuk diangkat. Di tengah situasi politik yang tidak begitu kondusif bagi aspirasi Islam ketika itu, Kyai Saifuddin menyampaikan tujuan penulisan makalahnya: “Tujuan penulisan makalah ini hendak menghilangkan prasangka. Mungkin akan berhasil, tetapi juga mungkin tidak berhasil. Tetapi saya telah berusaha, telah berikhitiar. Jika tokh saya tidak menulisnya, prasangka akan tetap ada dan tidak digarap hilangnya. Membiarkan prasangka sama dengan menyetujui prasangka. Dan ini suatu sikap mental yang tidak baik bahkan berbahaya.”
Lanjut baca,