ANEH, 22 JUNI SEPI PERINGATAN

ANEH, 22 JUNI SEPI PERINGATAN

Artikel Terbaru ke-2.255

Oleh; Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

 

            Pada 22 Juni 2025 sebuah Masjid di Bekasi – bersama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia -- menyelenggarakan Peringatan Hari Lahirnya Piagam Jakarta. Acara ini sangat baik dan perlu dijadikan agenda rutin tahunan umat Islam dan bangsa Indonesia.

Aneh, jika umat Islam dan bangsa Indonesia menganggap remeh lahirnya Piagam Jakarta, pada 22 Juni 1945. Sebab, pada hari itu, sembilan tokoh nasional – dipimpin Bung Karno – berhasil melahirkan Piagam Kesepakatan yang menyatukan bangsa Indonesia. Dua puluh tahun setelah lahirnya Piagam Jakarta – yakni 22 Juni 1965 -- Bung Karno masih menyatakan, bahwa Piagam Jakarta adalah: “untuk mempersatukan rakyat Indonesia!” 

Piagam Jakarta adalah Produk Panitia Sembilan yang dibentuk dan diketuai oleh Bung Karno sendiri. Anggota-anggotanya dipilih oleh Bung Karno. Ada dua kelompok ideologis yang diajak berembuk serius, yaitu golongan nasionalis Islam dan golongan nasionalis kebangsaan.

Sejak awal berdirinya,  pihak Islam mengusulkan agar negara merdeka berdasarkan Islam. Islam ditempatkan sebagai dasar negara; setidaknya Islam menjadi agama resmi.  Pihak kebangsaan menolak usulan itu. Perdebatan itu sangat seru dan panas. Baik di media maupun di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).

Meskipun memiliki perbedaan ideologis yang tajam, tetapi para tokoh bangsa itu bersepakat bahwa Indonesia harus merdeka. Merdeka dari penjajahan adalah jalan terbaik bagi umat Islam dan bagi seluruh bangsa Indonesia. Untuk merdeka, semua pihak harus bersatu, meskipun banyak perbedaan pendapat.

Karena itu, 22 Juni 1945 adalah hari yang sangat penting untuk diperingati. Ketika itulah, bangsa Indonesia mampu menunjukkan kepada dunia, bahwa mereka bisa menjadi contoh dalam pencapaian prestasi besar bagi kemanusiaan.

Piagam Jakarta itu sendiri tidak sepi dari perdebatan, sejak awal mula dihasilkan. Sejumlah pihak menggugat Piagam Jakarta dalam sidang BPUPK, 9 Juli 1945. Tetapi, Soekarno meminta agar "Tujuh Kata" dalam Piagam Jakarta tidak dipersoalkan.

Tujuh Kata itu adalah hasil jerih payah dan kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Kata Soekarno: “Tujuh Kata" itu adalah "kompromi untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama."  (Tentang perdebatan dalam BPUPK, lihat buku Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, Jakarta: INSISTS, 2015).

Bahkan, setelah tanggal 17 Agustus 1945, Piagam Jakarta masih digugat. Akhirnya, tanggal 18 Agustus 1945  “Tujuh Kata” dicoret. Tujuh kata itu ialah:             “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”  Sila pertama Pancasila menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Meskipun diliputi kekecewaan terhadap pencoretan “Tujuh Kata”,  para ulama, tokoh Islam, dan kaum muslimin tetap berjuang mempertaruhkan jiwa, raga, dan harta mereka untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Mereka terus berjuang menegakkan kebenaran, melanjutkan amanah Risalah Kenabian, dalam kondisi apa pun.

Bung Karno akhirnya mengembalikan Piagam Jakarta – secara maknawi – dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959.  Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi di PPKI pada 18 Agustus 1945, mencatat: “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut.”  

            Setelah 80 tahun merdeka, kini terbukti, Piagam Jakarta memang satu bentuk kompromi ideologis yang berhasil menyatukan Indonesia. Syariat Islam yang berpuluh tahun dianggap sebagai ancaman persatuan bangsa, kini diakui sebagai bagian hidup bangsa Indonesia.

            Sila pertama dalam Piagam Jakarta adalah: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”  Kini, banyak syariat Islam telah berlaku untuk umat Islam Indonesia. Satu saja yang belum, yaitu aspek pidana.

Dengan landasan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, umat Islam Indonesia diberi hak untuk melaksanakan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Kini, Pembukaan UUD 1945 disepakati untuk tidak diubah.

Akan tetapi, ada saja yang ingin mengubahnya. Seorang tokoh Katolik, Dr. Soedjati Djiwandono, pernah mengusulkan, agar Indonesia menjadi negara sekuler dengan mengubah Mukaddimah UUD 1945.  Gagasan ini ia tulis dalam sebuah artikel berjudul “Mukaddimah UUD 1945 tidak Sakral” di Harian Suara Pembaruan, (9 Februari 2004).

Penulis Kristen, I.J. Satyabudi, dalam bukunya yang berjudul "Kontroversi Nama Allah" (1994) menulis: "Lalu, siapa sebenarnya yang lebih cerdas dan menguasai ruang persidangan ketika merumuskan Sila Pertama itu? Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-bapak Kristen karena kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu identik dengan ‘Ketuhanan Yang Satu!’ Kata ‘Maha Esa’ itu memang harus berarti ‘satu’. Oleh sebab itu, tidak ada peluang bagi keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan Bapak-bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun sila pertama ini."

            Dari pihak Islam pun ada yang masih mempersoalkan Pancasila dan NKRI. Masih banyak juga yang punya aspirasi ideologi, sekularisme, komunisme, liberalisme, atheisme, dan sebagainya. Jika semua aspirasi ideologis itu dibiarkan berlarut-larut sampai terjadi konflik terbuka, maka NKRI bisa bubar.

            Tentu, kita semua tidak menginginkan hal itu terjadi. Kapal NKRI harus terus dijaga agar tetap utuh. Kita bisa belajar dari para tokoh bangsa kita, bagaimana mereka berbeda pendapat, berdialog, berdebat, tetapi mampu menyepakati satu tindakan bersama untuk kemaslahatan bersama! Itulah pentingnya, 22 Juni diperingati sebagai hari KESEPAKATAN NASIONAL! (Depok, 23 Juni 2025).

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait