BATAS USIA PERNIKAHAN PERLU DIPIKIRKAN KEMBALI

BATAS USIA PERNIKAHAN PERLU DIPIKIRKAN KEMBALI

Artikel ke-1443

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Kasus ribuan anak-anak yang mengajukan permohonan pengajuan pernikahan memunculkan kembali diskursus tentang penetapan batas usia pernikahan. Seperti diketahui, dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974 sudah ditetapkan batas usia pernikahan untuk perempuan adalah 16 tahun dan untuk laki-laki 19 tahun.

            Tapi, ketentuan itu diubah melalui UU Nomor 16 Tahun 2019, yang mengatur bahwa batas usia minimal laki-laki dan perempuan untuk melakukan pernikahan adalah 19 tahun. "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun," demikian bunyi Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019.

            Kita patut berprasangka baik, bahwa berbagai pihak yang meningkatkan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan,  memiliki niat dan maksud baik. Mungkin itu juga sejalan dengan penetapan batas anak-anak dalam undang-undang perlindungan anak. Bahwa, anak-anak adalah yang umurnya masih di bawah 18 tahun. Artinya, umur 16 tahun dianggap belum dewasa, sehingga belum layak untuk menikah.

            Ketentuan itu tidak sesuai dengan pandangan Islam, bahwa seorang dianggap sudah dewasa ketika mencapai akil-baligh. Memang, pernikahan memerlukan kedewasaan kedua mempelai. Pernikahan bukan sekedar urusan umur semata.

            Tetapi, pada hakikatnya, dewasa itu bukan hanya terkait dengan bilangan umur seseorang. Dewasa itu juga ditentukan oleh kualitas pendidikan yang dialami seseorang. Apakah pendidikan itu mendewasakan atau tidak. Seseorang dianggap sudah dewasa secara jiwa raga, ketika ia mampu bertanggung atas perbuatannya sendiri.

            Jika murid terlalu banyak dibebani dengan soal-soal ujian dan kurang dilatih menjawab soal-soal kehidupan, maka biasanya akan menjadi lambat dewasa. Bahkan, sudah lulus pendidikan tingkat S1-pun, mungkin perilakunya masih seperti anak-anak.

Jikalau usia dewasa masih ditetapkan 18 tahun, tak aneh jika sebagian anak SMP dan SMA masih berpikir dan bertindak layaknya anak-anak. Padahal, di masa lalu, banyak tokoh yang sudah dewasa jiwa raga ketika masih berumur sekitar 15 tahun.

Abdullah bin Umar ikut ikut perang Khandaq usia 15 tahun. Usamah bin Zaid menjadi panglima perang usia 18 tahun. Muhammad Al-Fatih mampu menaklukkan Konstantinopel usia 20 tahun. Buya Hamka sudah mampu merantau dari Sumatera ke Jawa pada usia 15 tahun. Imam Zarkasyi mendirikan Gontor pada usia 16 tahun.  Soekarno sudah ‘nginthil’ Kyai Ahmad Dahlan saat berumur 15 tahun.

            Sesuai ketetapan Rasulullah saw, sepatutnya kita menjadikan batas usia 15 tahun sebagai batas akhir anak-anak. Yang harus dilakukan adalah memberikan pendidikan yang mendewasakan anak-anak pada saatnya ia harus dewasa. Ketika berumur 15 tahun, seorang anak sudah harus dinyatakan dewasa. Sebab, ia sudah menjadi mukallaf. Yakni, ia sudah memikul beban syariat. Ia sudah bertanggung jawab terhadap amalnya sendiri.

            Faktor terpenting untuk mendewasakan anak, adalah dengan mengajaknya masuk dan berusaha menjawab soal-soal kehidupan. Saat itulah setiap anak harus dilatih untuk mengembangkan cakrawala berpikir,  memecahkan masalah, berpikir kritis, kreatif, dan solutif.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/batas-usia-pernikahan-perlu-dipikirkan-kembali

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait