Artikel Terbaru ke-2.014
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
“Juli 1891, saya berangkat ke Aceh untuk memenuhi perintah dari pemerintah Hindia Belanda. Saya ditugaskan untuk melakukan penelitian khusus mengenai unsur keagamaan yang berperan penting dalam kondisi politik di negeri tersebut. Selama tinggal di Saudi Arabia (1884-85), lantaran jabatan saya – utamanya di Mekkah – saya berkesempatan untuk mendapatkan pengetahuan yang cukup mengenai pengaruh fanatisme ajaran Muhammad terhadap perlawanan rakyat Aceh yang tak kunjung surut terhadap kekuasaan Belanda.”
(Snouck Hurgronje, dalam buku Orang Aceh, Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial, Yogya: Mata Bangsa, 2019).
Jadi, begitulah pengakuan orientalis Belanda, bahwa ia ditugaskan untuk meneliti kondisi masyarakat Aceh, khususnya tentang pengaruh Islam terhadap masyarakat. Snouck menemukan besarnya pengaruh Islam dalam menanamkan semangat perjuangan masyarakat Aceh terhadap penjajah. Ia menyebutnya sebagai “pengaruh fanatisme ajaran Muhammad”.
Memang, menurut sejarawan Prof. Azyuardi Azra, dalam The Achehnese, seperti dikutip Azyumardi Azra, Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa rakyat Aceh menjadikan karya Syekh al-Palimbani tentang jihad sebagai sumber rujukan utama. Perang Aceh berlangsung sangat panjang dalam melawan Belanda, mulai 1873 sampai awal abad ke-20.
Kitab jihad itu menjadi model imbauan agar kaum Muslim berjuang melawan kaum kafir. Kitab itu menjelaskan keutamaan jihad fi-sabilillah. Judulnya: Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu’minin fi-Fadhail al-Jihad fi-Sabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah. Melalui kitabnya ini, Syekh al-Palimbani menjelaskan bahwa wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk melakukan jihad melawan kaum kafir.
Syekh Abd al-Shamad al-Falimbani (1704-1789), dikenal sebagai ulama paling terkemuka dari wilayah Palembang. Meskipun menetap Mekkah, Syekh Abd al-Shamad memiliki kepedulian yang kuat terhadap kondisi Nusantara dan mendorong kaum Muslim untuk terus melaksanakan jihad melawan penjajah.
Dari Mekkah, Syekh al-Falimbani juga mengirim surat kepada beberapa raja Jawa agar berjihad melawan Belanda. Misalnya, dalam suratnya kepada Pangeran Paku Alam, atau Mangkunegara, Syekh al-Palimbani menulis: ”… bahwa kami di Makkah telah mendengar bahwa Yang Mulia, sebagai seorang pemimpin raja yang sejati, sangat ditakuti di medan perang. Hargailah dan manfaatkanlah, insya Allah, untuk menumpas musuh-musuh Anda dan semua orang kafir.” (Lihat buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, karya Prof. Dr. Azyumardi Azra, (Jakarta: Prenada Media, 2004).
Lanjut baca,