Artikel ke-1.675
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada 8 Januari 2015, Jurnal Islamia-Republika memuat artikel karya Bahrul Ulum, berjudul “Semangat Jihad Jenderal Sudirman.” Artikel peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam Surabaya (Inpas) itu berkisah tentang perjuangan dan kepribadian Jenderal Sudirman. Meskipun dalam kondisi sakit, Jenderal Sudirman sukses memimpin Perang Gerilya melawan pasukan penjajah.
Kisahnya bermula pada 19 Desember 1948, saat Belanda melakukan agresi militer II ke Yogyakarta. Pemimpin nasional, seperti Presiden Soekarno, Muhamad Hatta, Syahrir dan beberapa lainnya, tertangkap. Segera setelah agresi itu, Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat) mengeluarkan perintah kilat agar seluruh tentara Indonesia melakukan gerilya melawan Belanda.
Perang gerilya yang dilakukan Jenderal Sudirman (Pak Dirman), merupakan upaya mencontoh Rasulullah ketika hijrah ke Madinah. Untuk menyebarluaskan semangat perjuangan jihad tersebut, Jenderal besar ini menyebarkan selebaran yang berisi seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda dengan mengutip salah satu hadits Nabi. “Insyaflah! Barangsiapa mati, padahal (sewaktu hidupnya) belum pernah ikut berperang (membela keadilan) bahkan hatinya tidak ada hasrat sedikitpun berperang, maka matinya di atas cabang kemunafikan.”
Secara khusus Sudirman juga memberi semangat pasukannya agar tidak takut dan bersedih karena Allah bersama orang-orang beriman. Di samping itu, Sudirman selalu mengingatkan pasukannya agar membersihkan hatinya dalam perjuangan tersebut. Mereka harus yakin bahwa Allah tidak akan melalaikan hamba-Nya yang memperjuangkan sesuatu yang adil berdasar kesucian batin.
Dalam perjalanan gerilya, setiap mampir di pedesaan atau kampung, Pak Dirman selalu menyelenggarakan pengajian. Inilah yang membuatnya dekat dengan masyarakat. Tiap malam, meski kondisi tubuhnya terserang penyakit paru-paru, ia menunaikan shalat tahajud.
Pak Dirman pun erat menjalin hubungan kerja sama dengan pesantren-pesantren. Sebagai contoh, pada waktu pertempuran di Magelang dan Ambarawa, ia bekerja sama dengan pondok pesantren di Payaman pimpinan Kyai Siraj. Pondok Pesantren ini banyak mendorong santrinya agar berjihad dalam pertempuran Ambarawa.
Dalam pidatonya ia sering mengutip ayat Qur’an yang mengandung kata “Jihad” seperti surah Ash-Shaff ayat 10 dan 11 serta surah al-Baqarah ayat 154. Jenderal Sudirman tak segan meneriakkan takbir “Allahu Akbar!” saat memimpin peperangan. Kurang lebih tujuh bulan ia mempimpin perang gerilya sampai akhirnya Belanda hengkang dari Yogyakarta.
Sudirman lahir dari keluarga petani kecil, di desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya seorang mandor tebu pada pabrik gula di Purwokerto. Sejak bayi ia diangkat anak oleh asisten wedana (camat) di Rembang, R. Tjokrosunaryo. Ia sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Guru Muhammadiyah di Solo. Ia kemudian menjadi guru di Muhammadiyah Cilacap dan juga aktif berdakwah sehingga namanya tersohor di Cilacap dan Banyumas. Ia juga aktif di Hizbul Wathon, kepanduan milik Muhammadiyah. Ternyata, di wadah ini bakat kemiliterannya menonjol. Karena hal itu, ia kemudian masuk seleksi pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor.
lanjut baca,
INGAT HARI TNI, INGAT SEMANGAT JIHAD JENDERAL SUDIRMAN (adianhusaini.id)