SAYYIDAH AISYAH TAK PERLU DIBERI GELAR FEMINIS

SAYYIDAH AISYAH TAK PERLU DIBERI GELAR FEMINIS

Artikel Terbaru ke-2.205

Oleh: Bana Fatahillah

(Guru Pesantren At-Taqwa Depok)

 

 

Setelah viralnya lagu Aisyah istri Nabi lewat Nisa Sabyan, dan viralnya juga artikel-artikel terkait lagu ini, saya menduga akan ada segelintir orang yang mengaitkan kisah Aisyah dengan Feminisme atau kesetaraan gender. Ternyata benar. Salah seorang kontributor di sebuah situs Islam yang menulis bahwa Aisyah adalah seorang feminis yang membela hak-hak perempuan di masanya.

Padahal, sejatinya, embel-embel “feminis” itu tak diperlukan untuk Sayyidah Aisyah. Dalam kitabnya  yang berjudul Aisyah Ummahāt al-Mu’minīn, Syekh Ramadhan Al-Buthi menuliskan sebuah bab berjudul “Peran Ilmiah Aisyah” (Al-Makānah al-‘Ilmiyyah li’Aisyah). Dalam kitabnya, beliau menonjolkan peran keilmuan Aisyah r.a. dan  bukan menjulukinya sebagai aktifis feminis atau semacamnya.

Memang benar adanya bahwa Aisyah r.a. senantiasa memperjuangkan hak-hak wanita. Syekh Ramadhan al-Buthi pun mengutip hadis tersebut, yakni terputusnya shalat karena wanita serta pembelaan Aisyah  dalam sebuah bab yang ia berinama “Aisyah dan Perempuan” (‘Aisyah wa al-Mar’ah).

Akan tetapi perjuangan ini adalah manifestasi dari ajaran suaminya, yakni Baginda Nabi saw yang senantiasa memuliakan wanita serta keluarganya, bukan realisasi dari jiwa feminis –sekali lagi bukan realisasi dari jiwa feminis -- melainkan manifestasi dari ajaran Baginda Nabi yang senantiasa memuliakan wanita. 

Hal ini bisa dibuktikan dari perkataan Baginda Nabi saw:  “Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Orang yang memuliakan perempuan adalah orang yang mulia dan orang yang merendahkannya adalah orang hina dan pantas dicela” (HR. Ahmad dalam Musnadnya).

Bisa kita katakan: Dalam cakupan yang lebih luas, Islam memuliakan wanita tanpa embel-embel feminisme atau emansipasi. Dan nyatanya seperti itu. Berapa banyak nasib perempuan yang dapat diperjuangkan tanpa emansipasi. Lihatlah, Rasulullah mengangkat derajat martabat perempuan dari kungkungan adat jahiliyyah tanpa teriakan emansipasi.

Contoh lain, Syaikhah Rahmah El-Yunusiyyah mendirikan madrasah perempuan pertama di Indonesia tanpa embel feminisme dan emansipasi. Artinya dalam ruang lingkup peranan perempuan –atau bahkan laki-laki sekalipun– kita bisa membahas itu tanpa label feminisme. Apalagi agama Islam yang syariat dan aturannya sudah menjelaskan itu semua.

Jika Anda bertanya: feminis itu kan ingin menjunjung tinggi keadilan dan menumpaskan kejahatan, khususnya pada wanita. Dan ini sejalan dengan konsep Islam. Lantas kenapa dikesampingkan?

            Sekilas, keduanya memang terlihat sama. Tapi di dalamnya jika kita lihat secara filosofis maka akan terlihat beda dan bertentangan. Ini karena feminisme lahir dari sebuah ide dan gagasan yang terbentuk dari perjalanan sejarah panjang. Oleh karenanya sebagai sebuah kajian ia sarat akan ideologi.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/sayyidah-aisyah-tak-perlu-diberi-gelar-feminis

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait