Artikel ke-1.842
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Para calon presiden dan kepala daerah bisanya menjanjikan meningkatnya kesejahteraan kehidupan rakyat sebagai janji utama dalam kampanye mereka. Kemiskinan memang harus diatasi. Masyarakat harus ditingkatkan kesejahteraannya.
Akan tetapi, tanpa peningkatan akhlak mulia, maka kenaikan kesejahteraan akan berujung kepada bencana. Orang kaya dan berkuasa akan merusak masyarakat jika tanpa disertai akhlak mulia. Karena itu, para pemimpin bangsa perlu lebih serius dalam usaha pembangunan akhlak masyarakat, khususnya para pemimpin dan aparatur negara.
Pada Pilpres 2024, tiga pasang capres/cawapres – semuanya – menjanjikan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ada yang menawarkan makan siang gratis, pendidikan gratis, dan juga internet gratis, serta berbagai janji-janji kemudahan hidup bagi masyarakat. Dalam berbagai kesempatan, Anies mengusung gagasan pentingnya Indonesia mewujudkan tujuan kemerdekaan, yaitu terwujudnya “Keadilan sosial bagai seluruh rakyat Indonesia.”
Prabowo Subianto juga berulang kali menjanjikan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bukan hanya itu! Prabowo mencitakan Indonesia akan menjadi negara kuat dan disegani dunia. Gagasan Prabowo bisa dibaca dalam buku karyanya, “Paradoks Indonesia dan Solusinya” (Jakarta: PT Media Pandu Bangsa, 2022, cetakan kedua).
Pada bagian “Menunaikan Janji Kemerdekaan”, Prabowo menjanjikan: “Yang ingin saya lakukan adalah mendorong perubahan besar cara kita bernegara. Saya ingin menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia. Saya ingin membangun sistem ekonomi dan sistem politik yang bersih, yang membela rakyat dan yang membangun bangsa ini.”
Tentu saja kita menunggu dan berharap janji-janji para pemimpin itu akan ditunaikan dan bisa diwujudkan. Tetapi, tantangan terberat yang dihadapi oleh para pemimpin bangsa itu ialah kualitas pejabat dan aparatur negara itu sendiri. Bukan hanya soal kapabilitas kepemimpinan, tetapi juga soal wawasan keilmuan dan kualitas akhlak. Penyakit utama yang sangat merusak diri para pejabat negara adalah penyakit cinta dunia yang berlebihan. Cinta harta dan cinta jabatan adalah pangkal segala kerusakan.
Sejak tahun 1951, tokoh nasional Mohammad Natsir sudah mengingatkan bangsa Indonesia akan bahaya penyakit jiwa yang mulai menggerogoti masyarakat kita. Yakni, hilangnya jiwa pengorbanan dan maraknya sikap meminta imbalan atas jasa-jasa yang telah diberikan kepada bangsa dan negara.
“Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah,” tulis Mohammad Natsir dalam artikelnya berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, tertanggal 17 Agustus 1951.
Lanjut baca,
TIGA SYARAT AGAR JANJI PARA PEMIMPIN BISA TERWUJUD (adianhusaini.id)