Artikel Terbaru ke-2.235
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Islamofobia secara literal bermakna ketakutan terhadap Islam secara membabi-buta. Yakni, ketakutan yang berlebihan dan tidak berdasar. Dalam hal apa saja. Termasuk dalam merumuskan kurikulum dan penulisan buku ajar pendidikan. Harusnya, penyusun buku ajar tak perlu takut mengambil sumber-sumber Islam dalam menyusun buku ajar apa saja.
Seorang dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka), Dr. Endang Surahman, pernah menulis artikel di Harian Republika, edisi 8 Januari 2015, berjudul “Islamofobia dalam Pendidikan Kewarganegaraan”.
Endang Surahman menunjukkan sejumlah fakta tentang buku-buku ajar dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), yang enggan mengambil sumber-sumber Islam dalam penulisannya. Padahal buku-buku tersebut juga diajarkan kepada anak-anak muslim.
Contohnya, sebuah buku ajar PKN berjudul “Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X” (2004). Buku ini sama sekali tidak mau mengambil sumber al-Quran dan hadits Nabi Muhammad saw serta pendapat para ulama Islam yang otoritatif dalam bidangnya.
Misalnya, dalam mendefinisi manusia, buku itu sama sekali tidak mengambil penjelasan manusia dari Kitab Suci al-Quran. Padahal, al-Quran begitu banyak menjelaskan tentang istilah- istilah manusia, asal-usul manusia, proses penciptaannya, dan sebagainya.
Tentu saja hal ini sangat merugikan anak-anak muslim yang dipaksa untuk mempelajari buku tersebut. Bagaimana mungkin pendidikan bisa memberikan dampak positif kepada anak didik, jika definisi tentang manusia saja salah. Sehebat apa pun akal manusia, jika tidak merujuk kepada al-Quran, maka ia tidak akan memahami hakikat manusia yang sebenarnya.
Sebab, indera dan akal manusia hanya mampu memahami manusia dari aspek jasadnya saja. Itu pun masih sangat terbatas. Akal manusia – tanpa wahyu – tidak akan mampu memahami dari mana manusia berasal, untuk apa ia hidup di dunia ini, dan apa yang akan dia alami setelah ia mati.
Karena itulah, manusia akan sangat rugi jika tidak mengenal hakikat dirinya sendiri. Hidupnya hanya akan digunakan untuk melampiaskan berbagai jenis syahwatnya. Tidak mungkin ia akan mengenal Tuhannya, karena ia tidak mau merujuk kepada wahyu (al-Quran) ketika mempelajari manusia.
Manusia jelas terdiri atas unsur jiwa dan unsur raga. Ada ruh yang ditiupkan Allah saat janin berumur empat bulan. Ruh ini telah menyatu dengan jasad dengan paduan yang unik. Manusia hanya diberikan ilmu yang sangat sedikit tentang ruh ini. Itu pun jika manusia mau merujuk kepada sumber-sumber dari wahyu Allah.
Sikap Islamofobia dalam penyusunan buku ajar semacam ini sangat merugikan manusia itu sendiri. Ujung-ujungnya, akan lahir manusia-manusia yang hanya memuja kejayaan dan kesenangan materi. Mereka lupa atau tidak meyakini kehidupan akhirat. Akibatnya sangat fatal bagi masyarakat. Mereka tidak akan mendapatkan keberkahan hidup, karena jauh dari iman dan taqwa.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/jangan-islamofobia-dalam-menyusun-buku-ajar