Artikel Terbaru ke-2.231
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Misi utama pendidikan Islam, menurut Mohammad Natsir, adalah mengikis rasa rendah diri (inferiority complex) dari pemuda dan pemudi Islam. Mereka harus merasakan benar, bahwa Islam bukanlah menghambat kemajuan dunia, tetapi justru mendorong kepada kemajuan dunia, dengan tidak melepaskan hubungan keimanan dan berbakti kepada Allah SWT.
“Seorang pemuda-pemudi Islam yang tamat dari Pendis (Pendidikan Islam) harus bebas dari rasa kecil itu, dan merasa bangga bahwa dia adalah seorang pemuda-pemudi Islam, seorang muslim dan muslimah,” kata M. Natsir, seperti dikutip oleh Dr. Lukman Ma’sa, dalam disertasinya berjudul "Konsep Toleransi dalam Dakwah Mohammad Natsir” di Universitas Islam Asy-Syafiiyyah.
Pendis (Pendidikan Islam) adalah sekolah yang didirikan M. Natsir dan sejumlah tokoh Persatuan Islam (Persis) pada tahun 1932. Ketika itu, M. Natsir berumur 24 tahun. Natsir termasuk diantara pejuang kemerdekaan yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan melalui jalur pendidikan.
Seperti diketahui, pada 1901 penjajah Belanda mulai menerapkan Politik Etis, yang salah satu misinya adalah melepaskan umat Islam dari agamanya. Caranya dengan menyelenggarakan pendidikan model Barat yang tidak memberikan pendidikan agama sama sekali kepada para murid-muridnya.
Di jaman penjajahan Belanda itu, banyak sekali elite pribumi yang bangga memasukkan anak-anaknya bersekolah di sekolah model Barat. Mereka juga bangga berbahasa Belanda. M. Natsir termasuk diantara anak-anak pribumi yang berhasil menguasai bahasa Belanda dengan baik. Buku pertamanya berjudul “Komt tot het gebed” (Marilah sholat).
Suasana psikologis sebagai bangsa jajahan memunculkan mental rendah diri dimana-mana. Banyak kaum muslim yang kemudian bangga mengenyam pendidikan model Barat dan berperilaku serta berbudaya seperti bangsa Barat.
Pendidikan model Barat yang dibawa oleh Belanda memang berkualitas tinggi secara akademik. Lulusannya pun mudah mendapat pekerjaan dengan gaji tinggi. M. Natsir bercerita, ketika duduk di bangku SMA Belanda, ia harus belajar bahasa Belanda, Inggris, Jerman, sampai Latin. Jika ujian satu mata pelajaran, ia diwajibkan membaca 36 buku.
Di tingkat SMA itu pula, papar M. Natsir, ia harus menulis makalah dan menyampaikannya di depan kelas dalam bahasa Belanda. Ia menulis makalah tentang pabrik tebu dan nasib buruh. Makalah Natsir mendapat apresiasi tinggi dari gurunya. (Lihat: Audery Kahin dalam bukunya: Islam, Nationalism and Democracy: a Political Biography of Mohammad Natsir).
Meskipun menjalani pendidikan model Barat, Natsir telah mendapat bekal yang cukup dalam pemahaman dan keyakinan agamanya. Ia pun menemukan guru-guru yang memahami peradaban Barat dan ajaran Islam dengan mendalam, seperti Haji Agus Salim, Syekh Ahmad Surkati dan A. Hassan.
Lanjut baca,