Artikel Terbaru ke-1.897
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Syahdan, suatu ketika, di sebuah kampus Islam, saya mendengar ceramah tentang tantangan pembangunan Indonesia. Isinya antara lain mengajak, agar kita mewaspadai “Jebakan pendapatan menengah, atau middle income trap!” Kampus kita, ujarnya, perlu memberikan kontribusi dalam menyiapkan SDM-SDM unggul agar kita bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah tersebut.
Pada kesempatan lain, saya mendengar seorang ulama menyarankan, agar kita meningkatkan jumlah “kelas menengah” dan “kelas atas”. Sebab, kue ekonomi Indonesia ini dikuasai oleh segolongan kecil dari masyarakat kita. Yang 90 persen menguasai hanya 10 persen kue ekonomi. Begitu kata sang ulama.
Sekilas, paparan atau ajakan semacam ini seperti tidak bermasalah. Apalagi, yang menyampaikan itu juga tokoh yang dikenal memiliki komitmen dan aktif dalam dakwah Islam. Intinya, para tokoh tersebut memaparkan, bahwa masalah utama umat Islam dan bangsa Indonesia adalah masalah ekonomi. Bagaimana umat Islam meningkatkan pendapatannya agar tidak diremehkan oleh umat lain.
Kita setuju bahwa umat Islam harus meningkatkan ekonominya. Bahwa, bangsa kita juga harus meningkat kesejahteraannya, itu pun sangat benar. Tetapi, menempatkan masalah “pendapatan” sebagai tujuan utama pembangunan, itu patut kita pikirkan sangat serius. Ini masalah adab. Bagaimana kita menempatkan segala sesuatu secara tepat.
Sebagai gambaran, di masa Rasulullah saw, yang dimaksud sebagai “kelas atas” – yakni, manusia-manusia paling dihormati -- adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia. Bahwa, negeri yang mulia adalah yang penduduknya beriman dan bertaqwa (QS al-A’raf: 96). Nabi saw bersabda, orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya.
Maka, sebagai aplikasinya, di masa itu, para sahabat Nabi yang menempati kedudukan “mulia” adalah orang-orang yang berilmu dan berakhlak mulia, baik yang miskin atau yang kaya. Mereka dihormati karena taqwa dan akhlaknya, seperti Bilal bin Rabah, Abu Hurairah, Ibn Abbas, Abu Dzar al-Ghifari, Ibn Mas’ud, Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Afan, dan sebagainya.
Para sahabat Nabi itu dididik dengan kedisiplinan yang tinggi dalam keilmuan, ibadah, dan juga fisik. Jiwa raga dilatih secara disiplin. Jadilan mereka manusia-manusia terbaik (khairun nas). Mereka adalah para pekerja keras dan sekaligus manusia-manusia yang bersemangat tinggi dalam beribadah, berjihad, mencari ilmu, dan memiliki akhlak mulia.
Jadi, yang seharusnya dihasilkan oleh pendidikan tinggi kita adalah manusia-manusia mulia seperti itu. Dan itulah sebenarnya tujuan pendidikan nasional kita, sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945. Pemujaan yang berlebihan terhadap harta dan tahta akan menyebabkan kerusakan pemikiran di lembaga-lembaga pendidikan.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/hati-hati-jebakan-berpikir-di-pendidikan-tinggi