Adianhusaini.id, Jakarta-- Masyarakat Indonesia—termasuk umat Islam—kerap menunjukkan sebuah anomali yang ironis. Di satu sisi, semua pihak mendambakan sistem pendidikan yang maju dan berkualitas. Namun, di sisi lain, profesi guru justru tidak menjadi pilihan prioritas, terutama bagi anak-anak muda yang memiliki kemampuan akademik terbaik.
Kenyataan pahit menunjukkan bahwa lulusan-lulusan paling cemerlang dari sekolah-sekolah dan pesantren-pesantren, ketika ditanya mengenai pilihan studi, sangat jarang yang memilih kuliah keguruan. Bahkan, sebuah kejadian unik sering ditemukan: suatu lembaga pendidikan meminta ceramah motivasi agar para murid menghormati guru, tetapi saat ditanya, lulusan terbaik dari lembaga itu justru tidak ada yang tertarik untuk menjadi guru. Tidak hanya murid, bahkan para guru sendiri pun, jika memiliki anak yang pintar, umumnya tidak akan menyuruh sang anak untuk mengikuti jejaknya. Ini adalah sebuah pertanyaan besar: bagaimana pendidikan bisa menjadi baik jika profesi guru tidak diminati oleh generasi terbaik?
Guru: Lebih dari Sekadar Pengajar Bayaran
Dr. Adian Husaini menegaskan bahwa pengalaman menjadi guru sangat krusial untuk memperoleh hikmahdan kebijakan (wisdom atau himmah). Seseorang yang tidak pernah terjun langsung untuk mendidik, menghadapi masalah di lapangan, mencari solusi dari berbagai tantangan, dan memiliki rasa pengorbanan, akan rugi, bahkan untuk dirinya sendiri.
Inti dari pendidikan adalah menyiapkan guru yang memiliki "jiwa guru." Ini berarti menjadi guru harus didasari oleh perjuangan dan keseriusan, dan bukan semata-mata karena bayaran. Meskipun faktor gaji itu penting, ia bukanlah yang utama. Guru ideal harus ditempatkan sebagai ilmuwan, pembelajar sejati, dan pejuang peradaban.
Pentingnya peran guru ini telah lama dipegang teguh oleh tokoh-tokoh bangsa. Bapak Mohammad Natsir pernah menyampaikan pesan (yang ia kutip dari Dr. New Host, pakar pendidikan Belanda) bahwa suatu bangsa tidak akan pernah maju jika di dalamnya tidak ada sekelompok guru yang ikhlas dan berkorban untuk bangsanya. Di kancah internasional, Finlandia dikenal sebagai negara yang menempatkan profesi guru di posisi terhormat, di mana hingga tahun 1960-an, anak-anak dengan prestasi akademik terbaik menjadikannya pilihan karier pertama.
Sejarah mencatat, banyak tokoh pendiri bangsa dan pejuang kemerdekaan adalah guru. Sebut saja Bung Hatta, Mohammad Natsir, Panglima Sudirman, hingga Haji Agus Salim. Mereka adalah pejuang sekaligus ilmuwan yang menjadikan profesi guru sebagai medan perjuangan.
Teladan dari Guru Muda Pesantren Attaqwa
Kritik ini harus dibarengi dengan solusi dan teladan. Pesantren Attaqwa Depok, yang telah berdiri selama 27 tahun, dengan pesantrennya sendiri telah berjalan selama 11 tahun, secara konsisten telah melahirkan banyak guru. Dua contoh nyata dari kaderisasi guru ini adalah Fatih Madini dan Nabil Abdurrahman, dua guru muda yang menjadi bukti bahwa anak muda terbaik dapat dan mau terjun ke dunia pendidikan.
Fatih Madini, salah satu guru muda yang dihadirkan, telah menjadi guru sejak duduk di bangku SMA di pesantren. Setelah lulus, ia langsung terjun sebagai guru sembari melanjutkan kuliah S1, yang kini telah ia selesaikan, tetapi ia tetap serius mengabdikan diri di jalur pendidikan. Jauh sebelum itu, ia bahkan sudah berlatih melatih Taekwondo sejak SD/SMP di BTTC Brimop Taikondo Training Center.
Fatih bukan sekadar pengajar, ia juga seorang penulis. Di usia 16 tahun, ia menerbitkan buku Mewujudkan Insan dan Peradaban Mulia, dan pada usia 17 tahun, terbit buku Reformasi Pemikiran Pendidikan Kita yang terpicu dari pengisian kuliah umum di Universitas Arsyad Albanjari, Kalimantan. Karya tulisnya berlanjut dengan buku ketiga Solusi Kekacauan Ilmu, dan buku keempatnya 15 Topik Aktual sebagai Bekal Menjadi Guru Ideal. Saat ini, Fatih menjabat sebagai Wakil Direktur atau Sekretaris Direktur SMA Pesantren Attaqwa Depok, dan mengajar mata pelajaran seperti Islamic Worldview.
Nabil Abdurrahman, yang kini baru berusia 20 tahun, juga seorang santri Attaqwa yang produktif menulis sejak di pesantren. Di antara karya-karyanya yang terbit adalah skripsi SMA-nya tentang Pemikiran Hamka mengenai Islam dan Budaya Minang (menariknya, Nabil adalah orang Sunda yang meneliti budaya Minang). Karya penelitian ini dinilai memiliki kualitas setingkat, bahkan lebih, dari rata-rata skripsi S1. Selain itu, ia juga menulis kumpulan artikel berjudul Pemikiran Bernas untuk Indonesia Cerdas, yang membahas filsafat, sains, islamisasi ilmu, pemikiran tokoh pendidikan seperti M. Natsir, Ki Hajar Dewantoro, dan K. Hasyim Asy'ari.
Dalam pengalaman mengajarnya selama kurang lebih tiga tahun di Sekolah Dasar (SD), Nabil saat ini mengajar Sirah Nabawiyah, dan pernah mengajar Bahasa Arab, Adab, serta bela diri Sufu Taisukan. Ia juga aktif dalam pelatihan dan pernah mempresentasikan gagasannya tentang membangun budaya literasi di International Islamic University Malaysia (IIUM).
Filosofi Guru: Pembelajar Seumur Hidup
Menurut Nabil, untuk menjadi guru yang baik dibutuhkan pendidikan dan pengalaman yang khusus. Seorang guru tidak boleh berhenti belajar. Dalam pandangannya, pendidikan terbaik terjadi ketika murid berlatih untuk mengajar, dan guru terus-menerus untuk belajar—suatu keharusan (fardu ain) bagi seorang guru.
Prinsip "belajar terus-menerus" ini ia praktikkan dengan kuliah formal di STID Mohammad Natsir (kuliah dakwah/guru), serta aktif mengkaji kitab-kitab klasik (turos). Ia mengaku telah mengkhatamkan kitab Ta’lim Muta’allim hingga lima kali, serta mengkaji kitab Hikam dan Fikhu Sirah Syeikh Al-Buti di bawah bimbingan ulama.
Terkait tantangan mengajar di usia muda, Nabil yang memiliki latar belakang menghadapi santri SMA/SMP di pesantren, kini harus menyesuaikan diri saat mengajar di tingkat SD. Ia sangat berhati-hati dalam menerapkan hukuman fisik dan fokus pada bagaimana murid dapat memahami bahwa sikapnya salah, bukan sekadar dihukum.
Mengenai anggapan terlalu cepat untuk menjadi guru di usia muda, Nabil berargumen bahwa jika merujuk pada sejarah tokoh-tokoh besar seperti Mohammad Natsir yang memilih mendirikan lembaga pendidikan pada usia 22 tahun daripada mengambil beasiswa ke Belanda, maka keputusan untuk mengabdi sebagai guru di usia muda adalah hal yang wajar dan sudah sepatutnya dilakukan.
Sebagai penutup, Dr. Adian Husaini berharap agar para lulusan paling pintar dari sekolah-sekolah dan pondok-pondok pesantren memiliki idealisme untuk menjadi guru. Guru sejati harus menjadi pejuang peradaban, ilmuwan, dan orang yang memberikan manfaat besar bagi masyarakat, meneladani tokoh-tokoh besar seperti K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, Ki Hajar Dewantoro, Buya Hamka, dan Mohammad Natsir. Guru sejati, sekali lagi, bukanlah sekadar tukang ngajar bayaran, tetapi seorang pejuang peradaban.
Link Video: https://youtu.be/aOII3oI61_4




