Artikel ke 1.759
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Di masa kampanye Pemilu 2024 banyak sekali video beredar yang isinya seputar pembagian uang kepada para ulama. Ada ulama yang menolak pemberian uang dari pendukung capres tertentu. Ada juga yang menerima dan bahkan ada juga yang membagi-bagikan uang.
Banyak komentar yang mengaitkan video-video itu dengan tindakan politik uang. Entahlah, benar atau tidak. Biarlah lembaga resmi yang berwenang mengklarifikasi. Tetapi, peristiwa semacam itu dapat melunturkan kewibawaan ulama. Bahkan, tak sedikit yang membuat video-video yang mengkritisi secara tajam tindakan ulama tertentu.
Ulama adalah pewaris Nabi. Ulama yang benar adalah laksana pelita penerang jalan umat. Jika ulama rusak, maka rusak pula jalan kebenaran. Nilai-nilai salah dan benar menjadi kabur, karena ulamanya melanggar batas-batas nilai moral.
Sudah menjadi kelaziman, bahwa di masa-masa Pemilu, ulama menjadi salah satu sosok yang diharapkan memberikan dukungan kepada para calon pemimpin nasional atau daerah. Ulama dianggap figur penting untuk meraih dukungan suara masyarakat. Biasanya ada saja politisi yang membawakan bingkisan tertentu untuk ulama yang dikunjunginya.
Karena strategisnya kedudukan ulama, maka umat perlu mengawal para ulama agar tidak tergoda untuk menjual kebenaran dengan imbalan uang atau sesuatu yang berharga lainnya. Jika ulama runtuh kewibawaannya, maka masyarakat akan semakin jauh dari ulama dan selanjutnya akan jauh dari agama pula. Na’udzubillahi.
Para ulama Islam perlu belajar dari kisah bangsa Eropa yang menolak Tuhan dan agama dalam kehidupan mereka. Mereka sempat “muak” dengan kehidupan para tokoh agama yang berlagak hidup dalam kesucian – termasuk tidak menikah – tetapi ternyata mereka melakukan berbagai kejahatan moral. Ucapan dan tindakan mereka tidak sejalan. Masyarakat merasa tertipu dan kemudian melakukan aksi balas dendam terhadap Geraka dan tokohnya.
Tahun 2011, kelompok Kompas-Gramedia menerbitkan buku berjudul: “Sejarah Gelap Para Paus – Kejahatan, Pembunuhan, dan Korupsi di Vatikan”. Buku ini edisi terjemah dari edisi bahasa Inggris “Dark History of the Popes – Vice Murder and Corruption in the Vatican”, karya Brenda Ralph Lewis.
Melalui buku ini, banyak pemimpin Gereja Katolik (Paus) yang diungkap kejahatan dan skandal-skandal mereka yang mengerikan. Misalnya, Paus Benediktus IX. Ia merupakan Paus yang paling hebat berskandal. Bahkan, ia dideskripsikan sebagai seorang yang keji, curang, buruk. Sampai-sampai ia digambarkan laksana ‘iblis dari neraka yang menyamar sebagai pendeta’.
Benediktus IX lahir sekitar tahun 1012. Dua orang pamannya juga sudah menjadi Paus, yaitu Paus Benediktus VIII dan Paus Yohanes XIX. Ayahnya, Alberic III, yang bergelar Count Tusculum, memiliki pengaruh kuat dan mampu mengamankan singgasana Santo Petrus bagi Benediktus, meskipun saat itu usianya masih sekitar 20 tahunan.
Paus muda ini digambarkan sebagai seorang yang banyak melakukan perzinahan busuk dan pembunuhan-pembunuhan. Penggantinya, Paus Viktor III, menuntutnya dengan tuduhan melakukan ‘pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan-tindakan lain yang sangat keji’. Kehidupan Benediktus, lanjut Viktor, ‘Begitu keji, curang dan buruk, sehingga memikirkannya saja saya gemetar.” Benediktus juga dituduh melakukan tindak homoseksual dan bestialitas.
Paus lain yang dicatat kejahatannya dalam buku ini adalah Paus Sergius III. Diduga, Paus Sergius telah memerintahkan pembunuhan terhadap Paus Leo V dan juga antipaus Kristofer yang dicekik dalam penjara tahun 904.
Dengan cara itu, ia dapat menduduki tahta suci Vatikan. Tiga tahun kemudian, ia mendapatkan seorang pacar bernama Marozia yang baru berusia 15 tahun. Sergius III sendiri lebih tua 30 tahun dibanding Marozia. Sergius dan Marozia kemudian memiliki anak yang kelak menjadi Paus Yohanes XI, sehingga Sergius merupakan satu-satunya Paus yang tercatat memiliki anak yang juga menjadi Paus.
Sebuah buku berjudul Antapodosis menggambarkan situasi kepausan dari tahun 886-950 Masehi: “Mereka berburu dengan menunggang kuda yang berhiaskan emas, mengadakan pesta-pesta dengan berdansa bersama para gadis ketika perburuan usai dan beristirahat dengan para pelacur (mereka) di atas ranjang-ranjang berselubung kain sutera dan sulaman-sulaman emas di atasnya. Semua uskup Roma telah menikah dan istri-istri mereka membuat pakaian-pakaian sutera dari jubah-jubah suci.”
Lanjut baca,
JANGAN SAMPAI ULAMA KITA DIRUSAK SEPERTI BEBERAPA PAUS INI (adianhusaini.id)