Artikel Terbaru ke-2.264
Oleh: Dr. Adian Husaini
Tahun 1998 rakyat Indonesia – dimotori oleh mahasiswa – melakukan aksi dahsyat. Mereka menuntut Presiden Soeharto turun tahta. Tuntutan itu berhasil. Indonesia memasuki era baru yang disebut zaman reformasi.
Di era reformasi, apa saja yang dianggap berbau Orde Baru, seolah-olah harus disingkirkan. Kekuasaan disebarkan ke daerah-daerah. Para bupati dan walikota menikmati kue kekuasaan yang besar. Apa dampaknya? Seperempat abad kemudian terjadilah korupsi yang dilakukan ratusan kepada daerah tingkat II.
Di masa Orde Baru, Golkar mendominasi kekuasaan. Kursinya di DPR pusat mencapai 70 persen. Setelah itu, kekuasaan terbagi ke banyak partai. Ternyata, korupsi juga ikut dibagi-bagi. Bahkan, lebih sulit dikendalikan.
Di era reformasi, rakyat diberi hak untuk memilih Presiden, Gubernur, Bupati, juga anggota legislatif. Bukan hanya DPR tapi juga DPD. Begitu banyak calon anggota legislatif itu, sehingga tak mudah mengenal dan memilih para calon itu dengan cermat.
Di tahun 2025 ini semakin kencang suara-suara yang menginginkan agar sistem kenegaraan kita direformasi lagi. Sebab, ternyata, banyak anggota DPR hasil pilihan rakyat yang tidak berkualitas. Mereka terpilih lebih karena popularitasnya; bukan karena kualitasnya.
Ongkos politik sangat besar. Untuk menjadi anggota DPR pusat, diperlukan biaya sekitar Rp10-20 miliar. Untuk jadi Gubernur, diperlukan dana sampai ratusan miliar. Apalagi untuk jadi Presiden! Triliunan rupiah diperlukan.
Dalam situasi yang tak menentu, lagi-lagi mahasiswa bergerak, menuntut perubahan. Kita mengapresiasi semua pemikiran dan tindakan perubahan untuk menjadi lebih baik. Hanya saja, agar kita bergerak dan berubah menjadi lebih baik, alangkah baiknya jika kita bersedia berpikir serius untuk merenungkan akar masalah bangsa yang kita hadapi.
Sebab, betapa pusingnya kita sebagai rakyat melihat perilaku banyak pejabat. Begitu banyak mereka yang tersandung kasus korupsi adalah yang sebelumnya rajin mengkampanyekan pemberantasan korupsi. Begitu seterusnya!
Tahun 2000, saya meluncurkan satu buku berjudul: “Sekularisme Penumpang Gelap Reformasi.” Buku ini sangat sederhana. Buku ini berisi pesan penting, bahwa Reformasi akan gagal jika pemikiran sekularisme turut mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Haris diakui, reformasi memang gagal. Banyak faktor penyebabnya. Tapi, penyebab terpenting adalah “sekularisme”. Yakinlah, sekularisme adalah biang keladi kerusakan kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara kita.
Mohammad Natsir sudah mengingatkan hal ini dalam pidatonya tanggal 12 November 1957 di Majelis Konstituante. Bahwa, Sekulerisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham tujuan dan sikap hanya di dalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam kehidupan kaum sekuleris tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan, dsb.”
Lanjut baca,