Artikel Terbaru ke-1.896
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam berbagai acara kajian pendidikan, saya menerima pertanyaan, “Bagaimana sikap kita dengan rencana pemerintah yang akan menghapus pendidikan agama di sekolah?” Saya selalu menjawab, bahwa berita itu tidak benar. Sebab, UU Sisdiknas No 20 tahun 2003, mewajibkan adanya pendidikan agama.
Tapi, meskipun jelas-jelas tidak benar, pertanyaan-pertanyaan itu pun menarik untuk kita telaah. Memang sempat beredar berita palsu yang menyebutkan bahwa pemerintah akan menghapus pendidikan agama Islam. Tampaknya, yang bertanya itu belum sempat membaca klarifikasi berita tersebut.
Meskipun demikian, pertanyaan itu menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat sensitif dengan isu agama. Ini hal yang patut kita syukuri. Betapa banyak negara yang masyarakat dan pemerintahnya sudah menganggap bahwa agama tidak penting bagi kehidupan mereka. Bahkan banyak yang menganggap agama sebagai sumber konflik dan sumber kelemahan.
Pada sisi lain, saya mengajak yang bertanya untuk berpikir tentang problem utama pendidikan agama kita. Khususnya tentang kualitas Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Bukan hanya tentang materi ajarnya, tetapi tentang kualitas guru-gurunya.
Kita tentu sepakat, bahwa PAI adalah mata pelajaran penting, bahkan sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Jika tujuannya seperti itu, maka tugas guru agama lebih berat dari guru-guru mata pelajaran lainnya.
Artinya, yang sepatutnya menjadi guru agama adalah orang-orang hebat, secara ilmu dan kualitas kepribadiannya. Guru agama adalah dai atau pejuang yang sangat strategis posisinya dalam membentuk pola pikir pelajar kita di sekolah-sekolah. Masalahnya, apakah anak-anak pintar berminat menjadi guru agama? Dan apakah sekolah bangga jika murid-murid yang terpandai memilih kuliah di juruan PAI? Begitu juga dengan orang tua! Apakah orang tua bangga anak-anaknya kuliah di jurusan PAI?
Inilah sebenarnya masalah utama PAI kita? Jika PAI kurang berdampak pada kualitas akhlak para pelajar, maka patut ditelaah bagaimana kualitas gurunya, bagaimana metode pembelajarannya, dan bagaimana materi ajarnya. Hal serupa bisa kita tanyakan kepada para mahasiswa yang belajar PAI di Perguruan Tinggi.
Tahun 1984, saya sangat menikmati kuliah PAI di IPB. Para mahasiswa diwajibkan mengikuti kuliah PAI di semester I. Ketika itu, Tim Pengajar Agama Islam (TPAI) IPB, dipimpin oleh Prof. Dr. Didin Hafidhuddin. Satu kelas, jumlah mahasiswanya mencapai sekitar 140 orang. Ada tiga dosen yang mengajar dalam satu kelas, dibantu oleh 3 orang asisten dosen.
Para mahasiswa diwajibkan mengikuti mentoring di Masjid sepekan sekali. Di situlah peran asisten dosen sangat penting membentuk kesadaran beragama para mahasiswa. Tidak sedkit terjadi perubahan pola pikir dan sikap mahasiswa. Mereka lebih kenal ajaran Islam dan bahkan kemudian bersemangat mengamalkan dan memperjuangkan Islam. Di tahun 1980-an itulah mulai marak pemakaian jilbab di kampus-kampus.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/tidak-benar-pendidikan-agama-akan-dihilangkan