BERMACAM UJIAN BAGI PESANTREN, JANGAN MENYERAH UNTUK JADI YANG TERBAIK  

BERMACAM UJIAN BAGI PESANTREN,  JANGAN MENYERAH UNTUK JADI YANG TERBAIK   

 

Artikel Terbaru ke-2.282

Oleh: Dr. Adian Husaini

 

            Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan terbesar di Indonesia. Jumlahnya kini mencapai 42 ribu.  Itu yang terdaftar resmi di Kementerian Agama. Masih banyak yang dalam proses pendaftaran. Tapi, ujian demi ujian terus menerpa Pesantren. Semoga semua ujian itu semakin mendewasakan dan mematangkan pesantren untuk menjadi “imam” dalam pendidikan nasional kita.

            Para tokoh pendidikan nasional kita telah mencontohkan bagaimana pesantren mampu melahirkan kader-kader bangsa yang unggul. Ki Hajar Dewantara mendirikan pesantren bernama “Taman Siswa” pada tahun 1922. Ia menyebut pesantren merupakan model pendidikan nasional ideal, karena mampu memadukan antara pendidikan dan pengajaran (opvoeding dan onderwijz).

            KH Ahmad Dahlan pun mendirikan Sekolah Guru bernama Kweekshcool Muhammadiyah pada tahun 1918. KH Ahmad Dahlan menjadikan dirinya sebagai teladan dan langsung mendidik para muridnya dengan ilmu dan akhlak mulia. Jadilah mereka kemudian menjadi guru-guru yang hebat.

            KH Hasyim Asy’ri tidak diragukan lagi merupakan seorang ulama teladan dalam pendidikan. Ia mendirikan Pesantren Tebuireng tahun 1899 dan melalui pesantren inilah lahir banyak ulama pejuang dan para pemimpin masyarakat.

            Di masa penjajahan, pesantren diuji dengan aneka rupa kesulitan dan tantangan berat. Pemerintah Hinda Belanda tidak mendukung pengembangan pesantren. Berbagai cara dilakukan oleh ulama dan tokoh-tokoh pesantren untuk terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan pesantren.

            Kini, pesantren diuji dengan ujian pemikiran yang hebat. Hegemoni pemikiran sekularisme-materialisme bisa menggerus keikhlasan dan adab-adab ilmu dalam pendidikan pesantren. Santri dan orang tuanya yang memasukkan anak-anaknya ke pesantren dibelokkan  tujuannya. Niatnya, bukan lagi untuk mencari ilmu dengan ikhlas, mengamalkan ilmu, dan mendakwahkan ilmunya, tetapi untuk mencari ijazah dan tujuan-tujuan duniawi dengan meninggalkan aktivitas dakwah.

            Tokoh pesantren KH Sholeh Iskandar merumuskan pesantren sebagai lembaga pendalaman ilmu-ilmu agama (tafaqquh fid-din) dan lembaga perjuangan untuk menegakkan agama Islam (iqamatud-din). Para santri bukan hanya dididik agar jadi orang pintar aneka macam ilmu, tetapi mereka juga dididik untuk menjadi pejuang penegak kebenaran.

            Dalam kondisi apa pun, jati diri pesantren seperti itu tidak boleh melemah atau luntur. Pesantren tidak sama dengan lembaga Balai Latihan Kerja. Bisa bekerja untuk mencari nafkah adalah hal yang mulia. Tetapi, pesantren lebih dari itu. Pesantren mendidik para santri menjadi manusia-manusia yang paling mulia dan terhormat. Yaitu, menjadi para pejuang di jalan Allah; mengajak manusia untuk mengenal dan mentaati perintah dan larangan Allah SWT.

            Tantangan pemikiran inilah yang sangat berat dihadapi oleh pesantren. Bahkan, lebih berat dengan tantangan pemikiran di era penjajahan Belanda. Sebab, dulu penjajah menguasai politik, ekonomi, militer. Tapi, tidak menguasai pendidikan Islam. Pesantren merumuskan tujuan dan kurikulumnya sendiri. Pesantren menjadi lembaga yang merdeka!

            Di era kebebasan informasi, tugas pendidikan dan dakwah pesantren semakin berat. Dulu, kejadian-kejadian yang menimpa pesantren bisa ditutupi atau tidak disebarkan secara liar. Sekarang itu tidak bisa lagi dipertahankan. Apa saja yang menimpa pesantren denga mudah tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Beredarnya kabar tentang kasus pelecehan santri dan santriwati oleh guru atau pimpinan beberapa pesantren, kini dengan mudah terungkap dan terbaca oleh masyarakat. Begitu juga dengan kasus-kasus santri yang mengalami musibah, seperti tenggelam, tertimpa reruntuhan bangunan, dan sebagainya. Semua berita itu mudah tersebar dengan cepat dan massif.

            Dalam kondisi seperti ini, pesantren perlu lebih berhati-hati dalam menjalankan proses pendidikannya.  Pesantren tidak bisa menghindar dan menutup diri dari berbagai tata aturan dalam pendidikan, pembangunan, dan informasi. Semua itu perlu kita pahami sebagai ujian yang harus diterima dan disikapi dengan sebijak-bijaknya. Semoga pondok pesantren kita tidak menyerah untuk berjuang menjadi yang terbaik. Amin. (Depok, 22 Juli 2025).

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait