Artikel Terbaru ke-2.281
Oleh: Dr. Adian Husaini
Mohammad Natsir (1908-1993) – tidak diragukan lagi – adalah satu arsitek dan pelaku penting perjalanan sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia. Gagasan-gagasannya jelas. Jejak langkah perjuagannya pun tercatat dengan baik. Salah satu kehebatannya adalah kemampuannya dalam memadukan idealisme dan realitas untuk mencapai tujuan perjuangan.
Tujuan perjuangan M Natsir bisa disimak pada tujuan perjuangan Partai Islam Masyumi: "Tujuan Partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam, di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi." (Pasal III).
Tujuan perjuangan itu sangat mulia dan sangat ideal. Tantangannya juga sangat besar. Tujuan itu memerlukan waktu yang panjang untuk mencapainya. Tapi, ada narasi yang jelas dalam rumusan tujuan itu. Yakni, diawali dengan penanaman nilai-nilai Islam dalam diri pribadi setiap muslim. Selanjutnya, Islam diterapkan di tengah masyarakat, lalu pada tataran negara.
M Natsir menyebut tantangan terbesar dalam upaya mewujudkan cita-cita Islam adalah dominasi paham sekularisme. Paham ini disebutnya sebagai paham “la diniyah”. Yakni, paham yang menolak agama sebagai panduan hidup manusia. Dominasi ini bersifat global. Dampaknya membuat manusia enggan diatur oleh Tuhan.
Manyadari akan kekuatan dominasi paham sekularisme, M Natsir melakukan perlawanan dalam beragam cara dan bidang. Di bidang pendidikan, Natsir bukan hanya mengkritik pemikiran sekularisme dalam bidang pendidikan. Dalam banyak tulisannya, M Natsir menggambarkan bahaya ilmu sekular bagi masyarakat Indonesia.
Tapi, M Natsir bukan hanya bicara pada tataran idealisme. Ia menggambarkan indahnya ajaran dan peradaban Islam dan bahayanya mengadopsi paham sekularisme dalam pendidikan. Tapi, disamping pidato dan bicara, M Natsir juga melakukan langkah-langkah praktis dengan mendirikan sekolah Islam di Bandung (Pendidikan Islam/Pendis), tahun 1932.
Jadi, diusianya yang baru 24 tahun, M Natsir sudah berani terjun langsung memimpin lembaga pendidikan Islam. Padahal, masyarakat ketika itu mengagumi lembaga-lembaga pendidikan sekular yang didirikan oleh penjajah Belanda. Tidak mudah melawan dominasi pendidikan sekular.
Pendis ditutup ketika Jepang datang, tahun 1942. Meskipun hanya berumur 10 tahun, Pendis telah melahirkan banyak alumni yang bermutu. Salah satu murid terkenalnya adalah KH Rusyad Nurdin, tokoh Islam Jawa Barat yang terkenal.
Itulah cara Mohammad Natsir melaksanakan perjuangan. Ia memiliki idealisme yang tinggi, tetapi bertindak secara praktis dengan terjun langsung mendirikan lembaga pendidikan Islam. Inilah satu langkah perjuangan yang dilandasi dengan pemahaman yang baik terhadap realitas dan dilandasi dengan hikmah. Idealisme dan realitas harus dipadukan dengan tepat.
Nah, dalam bidang politik, M Natsir pun melaksanakan perjuangan dengan memadukan idealisme dan realitas dengan bijak. Dalam pidatonya di Majelis Konstituante, pada 12 Nobember 1957, M Natsir mengritik keras paham sekularisme. Ia juga mengritik teokrasi dan demokrasi sekular. Lalu, M Natsir mengajukan gagasan negara ideal adalah negara yang berdasarkan Islam, yang disebut theistic democracy.
“Jadi negara yang berdasarkan Islam sukanlah satu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam … maka barangkali negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut Theistic Democracy,” kata M Natsir. (Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Media Dakwah, 2001).
Nah, perjuangan dalam bidang politik kenegaraan itu dilakukan oleh M Natsir dengan aktif memimpin Partai Islam Masyumi. Mengapa harus dengan partai politik? Sebab, itulah jalan yang tersedia untuk mewujudkan cita-cita perjuangan Islam. Jika Indonesia merupakan negara kerajaan, tentu M Natsir dan tokoh-tokoh umat Islam lainnya tidak membentuk partai politik.
Di tahun 1967, pemerintah Orde Baru tidak mengizinkan Partai Masyumi dihidupkan lagi. Bahkan, tokoh-tokoh Masyumi juga dilarang menjadi pemimpin partai politik atau dicalonkan menjadi anggota DPR. M Natsir dan para tokoh Masyumi pun tidak berhenti berpikir dan berjuang, sesuai dengan kondisi dan situasi. Sebab, dakwah adalah laksana air yang terus mengalir; tidak dapat dihentikan.
Maka, pada 26 Januari 1967, M Natsir dan para tokoh Masyumi mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Melalui lembaga inilah perjuangan Islam dilakukan dengan mengitennsifkan dakwah di kampus, pesantren, masjid, dan masyarakat pedalaman. Hasilnya, bisa kita lihat dan kita nikmati hari-hari ini.
Itulah contoh kebijakan perjuangan seorang M Natsir dan para tokoh umat lainnya dalam memadukan antara idealisme dengan realitas yang ada. Semoga kita bisa melanjutkan perjuangan mereka dengan sebaik-baiknya. Amin. (Depok, 21 Juli 2025).